Gegap gempita penyambutan tahun baru telah usai. Walau terkadang kita tidak tahu, apakah itu untuk menyambut hari-hari yang baru ataukah merayakan kemenangan kita sepanjang tahun lalu. Saya sendiri tidak pernah merayakan karena sebenarnya setiap hari baru layak untuk dirayakan.
Merayakan hari yang baru dengan hati nan tentram, semangat yang membara, dan tekad menjulang adalah cara saya memaknai garis kehidupan ini. Setiap detik di dunia ini sangat berharga. Setiap detiknya dapat membentuk hidup bahagia atau sebaliknya: masa depan yang suram.
Setiap perjuangan yang pernah kita torehkan sepanjang tahun lalu mungkin layak untuk dikenang. Berjibaku membangun kemakmuran hati sekaligus mewarnai hari-hari untuk meraih hidup bahagia tidak boleh berhenti.
Seluruh benda di alam semesta ini terus menerus bergerak. Maka begitu pula dengan kita. Berhenti pada satu titik merupakan suatu penghancuran. Mau tidak mau kita harus bergerak menuju hari yang jauh lebih baik.
Saya sendiri telah menentukan tujuan untuk merasakan getar-getar hidup yang penuh kebahagiaan. Dan satu-satunya tujuan tersebut adalah meningkatkan kapasitas dalam merengkuh harta dunia. Mengapa? Berikut alasannya.
Hidup Bahagia Dengan Tidak Mencintai Harta
Hati saya tidak terpaut pada harta. Oleh karenanya saya melihat "kecil" tumpukan harta. Cara pandang seperti ini justru sangat membantu dalam merengkuh harta lebih banyak lagi. Untuk apa?
Satu-satunya tujuan dari harta adalah untuk membuka jalan kebaikan. Sebenarnya saya selalu terpukau dengan orang-orang berilmu yang dapat memberikan kebaikan kepada orang lain. Senantiasa takjub melihat seseorang yang dapat menjadi jalan "hidayah" bagi mereka yang hidup dalam kegelapan.
Andaikata saya memiliki cukup banyak ilmu, tentu saja hidup yang bahagia akan mengiringi setiap langkah di hamparan usia. Maka mendapatkan harta dan menggunakannya untuk kebaikan merupakan celah yang paling memungkinkan.
Ada semacam tekad yang tak pernah luntur untuk menjadikan harta sebagai penolong saya di kehidupan kemudian; kehidupan setelah kematian. Mendapatkan harga kemudian mengubahnya sebagai pembuka pintu kebahagiaan akhirat semakin menggema di ruang jiwa.
Kenyataan ini terlihat paradoks: tidak mencintai tetapi memiliki. Tetapi inilah yang diajarkan kepada diri saya: meletakan harta dalam genggaman bukan di hati. Artinya kita-lah yang mengendalikan harta, bukan dikendalikan harta. Kita memiliki harta dan mengarahkannya sesuai dengan keinginan kita. Bukan diperbudak harta dan hidup dalam belenggunya.
Filosofi seperti itu sejujurnya menyusun serat-serat kebahagiaan dalam hidup. Hidup bahagia hanyalah impak dari cara kita memaknai sesuatu dalam hidup ini.
Orang-orang yang mencintai harta mengalami kesulitan untuk berbahagia. Jika tidak memiliki harta, mereka selalu mengangankan harta. Harta tersebut disimpannya dalam hati padahal tangannya tidak pernah menggenggam. Dan jika ia memiliki banyak harta, ada begitu desir-desir ketakutan. Takut kehilangan, takut dicuri, takut tersaingi...
Semakin kecil rasa cinta kita terhadap kemewahan dunia, semakin besar rasa tentram menaungi jiwa. Sebuah paradoks klasik yang sulit diterima para pecinta dunia. Semakin bernafsu mengejar dunia, semakin miskin diri kita dari ketentraman hidup.
Cara kedua membeli hidup bahagia dengan harta adalah dengan membagikannya kepada sesama. Terutama orang tua. Alunan kebahagiaan begitu merdu saat tangan ini dapat memberikan sesuatu kepada orang tua. Senyum kebahagiaan dari bibir orang yang telah mendidik kita selama ini terasa menggetarkan.
Saya acapkali mengatakan kepada orang tua (dan saudara), "Saya tidak membutuhkan harta. Kecuali untuk membantu saya mendapatkan pahala." Ya, saya sudah selesai dengan diri saya sendiri. Sudah sangat bahagia dengan apa yang ada.
Maka saya tutup sajian ini dengan mengingat doa yang dilantunkan Umar bin Khattab “Ya Allah, tempatkanlah dunia dalam genggaman tangan kami dan jangan kau tempatkan dia di lubuk hati kami.”
Satu-satunya tujuan dari harta adalah untuk membuka jalan kebaikan. Sebenarnya saya selalu terpukau dengan orang-orang berilmu yang dapat memberikan kebaikan kepada orang lain. Senantiasa takjub melihat seseorang yang dapat menjadi jalan "hidayah" bagi mereka yang hidup dalam kegelapan.
Andaikata saya memiliki cukup banyak ilmu, tentu saja hidup yang bahagia akan mengiringi setiap langkah di hamparan usia. Maka mendapatkan harta dan menggunakannya untuk kebaikan merupakan celah yang paling memungkinkan.
Ada semacam tekad yang tak pernah luntur untuk menjadikan harta sebagai penolong saya di kehidupan kemudian; kehidupan setelah kematian. Mendapatkan harga kemudian mengubahnya sebagai pembuka pintu kebahagiaan akhirat semakin menggema di ruang jiwa.
Kenyataan ini terlihat paradoks: tidak mencintai tetapi memiliki. Tetapi inilah yang diajarkan kepada diri saya: meletakan harta dalam genggaman bukan di hati. Artinya kita-lah yang mengendalikan harta, bukan dikendalikan harta. Kita memiliki harta dan mengarahkannya sesuai dengan keinginan kita. Bukan diperbudak harta dan hidup dalam belenggunya.
Filosofi seperti itu sejujurnya menyusun serat-serat kebahagiaan dalam hidup. Hidup bahagia hanyalah impak dari cara kita memaknai sesuatu dalam hidup ini.
Membeli Kebahagiaan
Harta dapat membeli kebahagiaan. Cara pertama untuk membelinya adalah dengan tidak mencintainya. Itu merupakan cara utama dalam mengarungi kehidupan di lautan kebahagiaan.Orang-orang yang mencintai harta mengalami kesulitan untuk berbahagia. Jika tidak memiliki harta, mereka selalu mengangankan harta. Harta tersebut disimpannya dalam hati padahal tangannya tidak pernah menggenggam. Dan jika ia memiliki banyak harta, ada begitu desir-desir ketakutan. Takut kehilangan, takut dicuri, takut tersaingi...
Semakin kecil rasa cinta kita terhadap kemewahan dunia, semakin besar rasa tentram menaungi jiwa. Sebuah paradoks klasik yang sulit diterima para pecinta dunia. Semakin bernafsu mengejar dunia, semakin miskin diri kita dari ketentraman hidup.
Cara kedua membeli hidup bahagia dengan harta adalah dengan membagikannya kepada sesama. Terutama orang tua. Alunan kebahagiaan begitu merdu saat tangan ini dapat memberikan sesuatu kepada orang tua. Senyum kebahagiaan dari bibir orang yang telah mendidik kita selama ini terasa menggetarkan.
Saya acapkali mengatakan kepada orang tua (dan saudara), "Saya tidak membutuhkan harta. Kecuali untuk membantu saya mendapatkan pahala." Ya, saya sudah selesai dengan diri saya sendiri. Sudah sangat bahagia dengan apa yang ada.
Maka saya tutup sajian ini dengan mengingat doa yang dilantunkan Umar bin Khattab “Ya Allah, tempatkanlah dunia dalam genggaman tangan kami dan jangan kau tempatkan dia di lubuk hati kami.”